Buat yang baru baca posting ini, baca dulu Hujan di Minggu Pagi sebelumnya ya. Kalo ada kritik atau saran langsung aja tanya ke acc twitter gue @yuliatrisn. Makasih :)
------------------------------------------------------------------
“Aku kecewa padamu.” Tak kusangka air mataku menetes. Tak sanggup menahan sakit ini. Aku menunduk, dia masih diam saja.
“Maafkan aku. Kurasa ini jalan terbaik untuk kita.” Akhirnya dia berkata setelah kami terdiam cukup lama.
“Kau jahat, Daniel. Aku tidak mengerti mengapa kau memutuskan untuk mengakhiri hubungan kita setelah kita bersama selama 3 tahun ini. Kupikir kau memang mencintaiku tulus apa adanya. Padahal kemarin kau baru mengatakan bahwa kau mencintaiku. Ternyata…” aku terisak, tak bisa melanjutkan kalimatku.
“Sudahlah, Sally. Jangan terlalu berlebihan. Aku hanya bosan padamu. Ini wajar kan untuk pasangan yang berpacaran?”
Apa? Wajar? Apakah selama ini dia tidak serius denganku? Kukira aku bisa bersamanya sampai kita tua nanti.
“Oke, Sally. Sekali lagi aku minta maaf. Dan aku mohon jangan hubungi aku lagi.” Daniel pun berlalu.
“Daniel! Daniel! Kenapa semuanya jadi seperti ini?” Aku berteriak memanggilnya, namun tak sedikitpun dia menoleh padaku. Dia tetap berlalu meninggalkanku.
***
Aku duduk di tempat tidur apartemenku. Sekarang sudah pukul 2 siang, namun aku masih menangis sejak pagi tadi saat Daniel memutuskan hubungan kami. Dadaku sesak, sakit sekali.
“Sally, apakah kau di dalam? Sally, tolong buka pintunya. Aku Rissa.” Pintu apartemenku di ketuk. Itu Carissa, teman baikku. Kami berteman sejak SMA. Sekarang kami bekerja di kantor yang sama. Kami adalah editor majalah remaja. Belum sempat aku menjawab, dia sudah membuka pintunya dan langsung menghampiriku.
“Sally…”
“Aku baik-baik saja, Ris.” Aku berusaha tersenyum.
“Baik-baik saja apanya? Matamu bengkak, kau pasti menangis seharian. Maafkan aku, Sally. Seharusnya aku datang lebih awal. Maafkan aku.” Rissa memelukku. “Apa aku harus memberinya pelajaran?”
“Apa-apaan kau ini? Ini hanya masalah kecil. Setiap orang yang berpacaran pasti pernah mengalami ini.” Aku tertawa kecil.
“Ah kau ini. Benarkah ini masalah kecil untukmu? Kau menangis terlalu lama. Ini bukan masalah kecil.” Rissa geram. Dia menatap tajam mataku. Aku terdiam, mengalihkan pandanganku ke luar jendela.
“Sebelumnya aku minta maaf aku tidak memberitahumu. Sally, minggu lalu aku melihat Daniel.” Rissa terdiam sejenak, entah apa yang dipikirkannya. Aku masih menunggu lanjutan kalimatnya. “Bersama seorang wanita.”
Aku menatapnya kaget. Kenapa dia tidak langsung bilang padaku?
“Wanita? Siapa dia?”
“Aku tidak mengenalnya.”
“Kau lihat mereka dimana? Sedang apa mereka?” Aku menggebu-gebu. Perasaanku sangat kacau.
“Di depan toko buku dekat restoran yang sering kita kunjungi. Mereka berpegangan tangan. Kukira mereka hanya teman. Tapi setelah mendengar kabar bahwa dia memutuskan hubungan kalian, aku menduga bahwa mereka bukan hanya teman biasa.”
Aku shock. Mataku basah, tapi aku tidak ingin menangis lagi. Rissa menggenggam tanganku.
“Aku minta maaf. Maafkan aku tidak segera memberitahumu. Seharusnya aku mengatakan semua ini dari awal. Aku bodoh aku membuatmu menangis seperti ini. Maafkan aku, Sally. Maafkan aku.” Berulang kali Rissa meminta maaf. Dia memelukku lagi.
“Tak apa, Ris. Ini bukan salahmu. Mungkin ini memang yang terbaik untukku dan Daniel.” Aku mengutip kalimat Daniel tadi pagi. Padahal aku masih tidak terima kalimat itu. Ini bukan terbaik untukku.
“Kau sudah makan?” Rissa melepas pelukannya dan melihat sekeliling kamar apartemenku.
“Belum.”
“Sudah kuduga pasti belum. Lihatlah kamarmu masih rapi seperti ini. Seharian kau hanya duduk di tempat tidur kan?”
Aku mengangguk tersenyum.
“Aku tidak punya bahan makanan untuk dimasak. Maukah kau menemaniku makan di luar?”
“Tentu saja, Sally. Kau ini seperti baru mengenalku saja. Ayo cepat mandi dan berganti baju.” Rissa mendorongku menuju kamar mandi.
Aku pun bergegas mandi. Kuputar keran shower dan shower itu pun mengucurkan air deras. Kupejamkan mata untuk merasakan air itu mengalir dari ubun-ubunku sampai ke ujung kaki. Rasa nyamannya terasa dan lumayan untuk meredakan sakit hatiku.
Teringat kejadian tadi pagi ketika Daniel memutuskan hubungan kami. Semuanya terjadi begitu saja. Kenapa Daniel meninggalkanku? Padahal selama ini aku tidak punya masalah dengannya. Kami jarang sekali bertengkar. Teman-temanku pun mengatakan bahwa kami adalah pasangan yang romantis. Kami baru saja menghabiskan weekend kemarin dengan pergi ke taman ria. Tapi tak kusangka dia meninggalkanku sekarang. Mataku kembali meneteskan air mata. Apakah aku mampu tanpa Daniel? Apakah aku sanggup menjalankan semuanya tanpa Daniel? Daniel, kenapa kau meninggalkanku?
***
ceritanya sudah bagus, Kak..
BalasHapusd^^b
d..b
(four tumb up for you)
lanjutin lagi ya Kak <~(ngak sabar nunggu kelanjutannya) >,,<)
makasih. doain aja biar ada lanjutannya haha
BalasHapusSaya sarankan kamu promosikan hasil karya kamu ini ke penerbit2 buku novel.
BalasHapusmakasih ya sarannya ;)
BalasHapus