Entah berapa lama aku seperti ini. Terjebak dalam
kegalauan yang ternyata kuciptakan sendiri. Sudah hampir tiga bulan aku putus
dengan pacarku, sekarang mantan pacar. Aku menyukainya dibandingkan semua
mantan pacarku karena dia termasuk tipe lelaki idamanku. Tampan, tinggi, bisa
mengendarai motor. Terdengar lucu sih, bahwa bisa mengendarai motor itu
termasuk tipe lelaki idamanku. Ya,
begitulah yang aku suka.
Padahal aku membencinya, sangat membencinya. Tapi itu dulu. Ketika
kami berumur 10 tahun. Dia baru pindah ke Jakarta, entah alasan apa, aku tidak
ingin tahu. Rumah kami berdekatan, kami tetangga. Saat itu dia sangat
mengganggu. Sering meneleponku, SMS-ku, aku tak tahu dia mendapatkan nomor
HP-ku dari mana.
“Kamu cantik. Jadi pacar aku mau?” tanyanya lewat
telepon setelah berhari-hari menggangguku.
“Aneh.” Jawabku.
“Aku aneh karenamu.” Dasar! Benar-benar aneh.
“Sudah ah, aku sibuk.” Saat itu aku sangat jutek
padanya. Aku langsung menutup teleponnya. Sejak saat itu dia tidak pernah bosan
menggangguku. Menanyakan hal yang sama, memintaku untuk menjadi pacarnya. Tetap
saja jawaban penolakan yang selalu aku berikan.
Lima tahun kemudian, saat aku baru masuk SMA, dia
seperti berhenti menggangguku. Tidak pernah menelepon ataupun SMS lagi. Rasanya
aku seperti kehilangan. Kehilangan pengganggu yang setiap hari mengacaukan
suasana hatiku.
“Aku kembali ke kampung halaman dulu ya. Aku ingin
pindah lagi dari Jakarta.“ Tiba-tiba dia mengatakan seperti itu setelah dia menghilang.
Jujur aku kaget, “Kenapa?” suaraku terdengar sedih
dan bergetar.
“Tidak apa-apa. Bukankah kau senang sekarang? Kehilangan
pengganggu yang sangat kau benci?“ dia tertawa kecil. Mendengarnya entah
mengapa aku ingin menangis. “Jaga dirimu baik-baik. Aku sudah di dalam kereta,
disini berisik. Sudah dulu ya.“ Dia langsung menutup teleponnya sebelum aku
sempat mengatakan apa-apa.
Aku menangis, terisak, mengingat lima tahun lalu
saat kami baru berkenalan dan aku yang benci setengah mati padanya saat itu,
sekarang menjadi rapuh hanya karena dia tidak akan tinggal di Jakarta lagi.
Beberapa hari kemudian aku melihatnya. Itu dia?
Kenapa kembali? Dia hanya tersenyum melihatku.
“Hai, apa kabar?“ tanyanya di telepon. Kami memang selalu
mengobrol lewat telepon seperti ini. Jarang sekali bertemu langsung, padahal
kami tetangga.
“Kok kembali?“ aku tidak menjawab
pertanyaannya, malah memberinya pertanyaan.
“Karena kamu kangen,“ mukaku merah. “Aku tidak pindah, aku hanya main ke sana lagi
hehe.“
“Oh.” Hanya itu yang keluar dari mulutku. Padahal aku
senang sekali mendengarnya.
Sejak saat itu aku tidak jutek lagi padanya, kami
sering mengobrol dan tertawa bersama. Saat itu aku merasa nyaman berada di
dekatnya. Sampai di hari ulang tahunnya aku diajak untuk ikut pergi dengannya
dan bersama teman-temannya. Aku senang telah diperkenalkan dengan mereka. Tapi
tetap saja, pertanyaan “jadi pacarku” itu selalu muncul.