About Me

Foto saya
Yaya. Lahir di Jakarta tanggal 31 Juli 1995 jam 3 pagi. Tidak tinggi yang penting imut. Cewek Plegmatis. Penulis amatir. Fotografer amatir. Model amatir. Semuanya amatir. Lulusan TK Tunas Harapan, SDN Percontohan 27 Pagi, SMPN 7 Jakarta, dan Kelas Bahasa SMAN 31 Jakarta. Sekarang bergabung di Pendidikan Bahasa Jerman Universitas Negeri Jakarta dan Lens Hood 33 Kelompok Mahasiswa Peminat Fotografi Universitas Negeri Jakarta. Cinta Indonesia-Jerman, kamera, pedas, merah jambu, angka sembilan, bola, kopi, es krim, stroberi, gitar, kembang api, bintang, hujan, dan pelangi. Join my blog first! Check "Hujan di Minggu Pagi" page ;)

Minggu, 27 April 2014

Ini Tanggal Dua Tujuh

Entah berapa lama aku seperti ini. Terjebak dalam kegalauan yang ternyata kuciptakan sendiri. Sudah hampir tiga bulan aku putus dengan pacarku, sekarang mantan pacar. Aku menyukainya dibandingkan semua mantan pacarku karena dia termasuk tipe lelaki idamanku. Tampan, tinggi, bisa mengendarai motor. Terdengar lucu sih, bahwa bisa mengendarai motor itu termasuk tipe lelaki idamanku. Ya, begitulah yang aku suka.

Padahal aku membencinya, sangat membencinya. Tapi itu dulu. Ketika kami berumur 10 tahun. Dia baru pindah ke Jakarta, entah alasan apa, aku tidak ingin tahu. Rumah kami berdekatan, kami tetangga. Saat itu dia sangat mengganggu. Sering meneleponku, SMS-ku, aku tak tahu dia mendapatkan nomor HP-ku dari mana.

“Kamu cantik. Jadi pacar aku mau?” tanyanya lewat telepon setelah berhari-hari menggangguku.

“Aneh.” Jawabku.

“Aku aneh karenamu.” Dasar! Benar-benar aneh.

“Sudah ah, aku sibuk.” Saat itu aku sangat jutek padanya. Aku langsung menutup teleponnya. Sejak saat itu dia tidak pernah bosan menggangguku. Menanyakan hal yang sama, memintaku untuk menjadi pacarnya. Tetap saja jawaban penolakan yang selalu aku berikan.

Lima tahun kemudian, saat aku baru masuk SMA, dia seperti berhenti menggangguku. Tidak pernah menelepon ataupun SMS lagi. Rasanya aku seperti kehilangan. Kehilangan pengganggu yang setiap hari mengacaukan suasana hatiku.

“Aku kembali ke kampung halaman dulu ya. Aku ingin pindah lagi dari Jakarta.“ Tiba-tiba dia mengatakan seperti itu setelah dia menghilang.

Jujur aku kaget, “Kenapa?” suaraku terdengar sedih dan bergetar.

“Tidak apa-apa. Bukankah kau senang sekarang? Kehilangan pengganggu yang sangat kau benci?“ dia tertawa kecil. Mendengarnya entah mengapa aku ingin menangis. “Jaga dirimu baik-baik. Aku sudah di dalam kereta, disini berisik. Sudah dulu ya.“ Dia langsung menutup teleponnya sebelum aku sempat mengatakan apa-apa.

Aku menangis, terisak, mengingat lima tahun lalu saat kami baru berkenalan dan aku yang benci setengah mati padanya saat itu, sekarang menjadi rapuh hanya karena dia tidak akan tinggal di Jakarta lagi.

Beberapa hari kemudian aku melihatnya. Itu dia? Kenapa kembali? Dia hanya tersenyum melihatku.

“Hai, apa kabar?“ tanyanya di telepon. Kami memang selalu mengobrol lewat telepon seperti ini. Jarang sekali bertemu langsung, padahal kami tetangga.

Kok kembali?“ aku tidak menjawab pertanyaannya, malah memberinya pertanyaan.

“Karena kamu kangen,“ mukaku merah. “Aku tidak pindah, aku hanya main ke sana lagi hehe.“

“Oh.” Hanya itu yang keluar dari mulutku. Padahal aku senang sekali mendengarnya.

Sejak saat itu aku tidak jutek lagi padanya, kami sering mengobrol dan tertawa bersama. Saat itu aku merasa nyaman berada di dekatnya. Sampai di hari ulang tahunnya aku diajak untuk ikut pergi dengannya dan bersama teman-temannya. Aku senang telah diperkenalkan dengan mereka. Tapi tetap saja, pertanyaan “jadi pacarku” itu selalu muncul.

Sudah tanggal 27 Juli, sehari setelah hari ulang tahunnya, kami masih mengobrol lewat telepon.

“Bagaimana? Mau jadi pacarku? Sepertinya kamu sudah mulai menyukaiku.” Dia tertawa.

“Memang sekarang pukul berapa?” tanyaku. Dia terdengar bingung, tapi akhirnya menjawab juga.

“Pukul 22 lewat 20, kenapa?”

“Tunggulah dua menit lagi.”

“Memang ada apa?” aku hanya diam. Beberapa saat kemudian dia berbicara lagi.

“Sudah dua menit. Sekarang pukul 22 lewat 22.”

“Baiklah, aku mau jadi pacarmu.”

“Apa?”

“Aku mau jadi pacarmu.”

“Hahaha kau bercanda.” Dia tertawa, sepertinya tidak percaya aku akan menerimanya setelah bertahun-tahun menolaknya.

“Ya sudah, tidak jadi.” Kok jadi seperti aku yang ditolak?

“Kamu serius?” aku diam. Tiba-tiba dia berteriak.

“Yeeeessssss! Akhirnya penantianku bertahun-tahun sampai juga disini. Kita pacaran, kan, sekarang?” tanyanya senang.

“Ya.” Aku tersenyum.

Begitulah kami yang setiap tanggal 27 pada pukul 22:22 selalu mengucapkan “Selamat Tanggal 27”. Sampai akhirnya, entah kami bosan menjalankan ritual ini selama hampir 4 tahun, atau dikarenakan kami menjalani hubungan LDR karena dia harus menyelesaikan sekolah di kampung halamannya, atau alasan lain yang sama-sama tidak kami ketahui, kami memutuskan berpisah.

Sekarang kami jarang sekali mengobrol. Suatu hari dia meneleponku.

“Apa kabar?” tanyanya.

“Baik. Kamu?” aku berusaha untuk tidak terjatuh ke dalam cintanya lagi, meskipun sebenarnya aku masih sedikit mencintainya.

“Baik juga. Sedang apa? Disini hujan lho.” Dia pamer seperti itu karena aku suka hujan dan di Jakarta selalu panas. Tapi saat ini Jakarta sedang diguyur hujan terus-menerus.

“Disini juga.” Sahutku, tidak menjawab pertanyaannya.

“Disini anginnya kencang.”

“Disini juga.”

“Disini aku kangen kamu.”

Deg! Suhu di dalam tubuhku meningkat drastis. Kenapa aku sangat mudah mencintainya sih? Aku hanya bergumam menyahut ucapannya. Padahal jantungku berdebar-debar.

Semenjak itu, setiap hari dia selalu meneleponku dengan ucapan-ucapan yang selalu membuatku merinding. Tapi itu dulu sebelum aku mencintainya. Sekarang kalimat yang dia lontarkan membuatku berhenti bernapas sejenak.

Itu hanya beberapa hari. Hubungan kami mulai renggang setelah dia jarang meneleponku dan membalas SMS atau BBM dariku.

Sampai akhirnya dia sudah menyelesaikan sekolahnya dan kembali ke Jakarta, dan tinggal lagi di seberang rumahku.


To be continued…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar